Kesadaran akan adanya
keberagaman budaya disebut sebagai kehidupan multikultural. Akan tetapi tentu,
tidak cukup hanya sampai disitu. Bahwa suatu kemestian agar setiap kesadaran akan
adanya keberagaman, mesti ditingkatkan lagi menjadi apresiasi dan dielaborasi
secara positif. pemahaman ini yang disebut sebagai multikulturalisme.
Mengutip S. Saptaatmaja dari
buku Multiculturalisme Educations: A Teacher Guide To Linking Context,
Process And Content karya Hilda Hernandes, bahwa multikulturalisme adalah
bertujuan untuk kerjasama, kesederajatan dan mengapresiasi dalam dunia yang
kian kompleks dan tidak monokultur lagi.
Pengertian ini memang sangat
relevan dengan keadaan yang multikultur dewasa ini. Pengertian dari Hilda ini
mengajak kita untuk lebih arif melihat perbedaan dan usaha untuk bekerjasama
secara positif dengan yang berbeda. Disamping untuk terus mewaspadai segala
bentuk-bentuk sikap yang bisa mereduksi multikulturalisme itu sendiri.
Lebih jauh, Pasurdi Suparlan
memberikan penekanan, bahwa multikulturalisme adalah ideologi yang mengakui dan
mengagungkan perbedaan dalam kesederajatan, baik secara individu maupun
kebudayaan. Yang menarik disini adalah penggunaan kata ideologi sebagai
penggambaran bahwa betapa mendesaknya kehidupan yang menghormati perbedaan, dan
memandang setiap keberagaman sebagai suatu kewajaran serta sederajat.
Multikulturalisme’ (multiculturalisme)-meskipun
berkaitan dan sering disamakan-adalah kecenderungan yang berbeda dengan
pluralisme. Multikulturalisme adalah sebuah relasi pluralitas yang di dalamnya
terdapat problem minoritas (minority groups) vs mayoritas (mayority group),
yang di dalamnya ada perjuangan eksistensial bagi pengakuan, persamaan (equality),
kesetaraan, dan keadilan (justice).
Multiculturalisme itu
mengenai kemajemukan di masyarakat, di utamakan kemajemukan dalam hal
suku/ras/kultur/bahasa dll. Mereka menyebut tentang multiculturalisme atau
kepelbagaian budaya di Amerika yang dibantu pula oleh media yang dikatakan
“fragmented” atau terpecah-pecah, mendokong semangat kepuakan atau “tribalism”.Maka
dikatakan yang sedang berlaku ialah “tribalism within globalism”- kepuakan
dalam pensejagatan- atau “globalism in tribalism”-pensejagatan dalam kepuakan
dan yang satu mendokong yang lainnya.
Memang keterbukaan yang kini
telah dinikmati oleh berbagai kalangan dan lapisan tentu positif, apabila
dimaknai dengan baik. Akan tetapi bisa berakibat negatif bila dimaknai sebagai
serba boleh dan kebebasan yang destruktif. Oleh karenanya, daerah mesti
memiliki kearifan untuk memaknai keberagaman ini dengan multikulturalisme.
Dimana multikulturalisme dimaknai sebagai representasi antropologis dalam
pembentukan bangsa,dikarenakan suatu daerah adalah identitas kebangsaan yang
kosmopolit dan plural.
Oleh karenanya,
multikulturalisme mesti ditempuh dengan memberikan pendidikan multikulturalisme
yang merata ke segala lapisan, baik secara kultural maupun struktural.
Pendidikan multikulturalisme ini mesti bisa menyentuh inti dari persoalan
multikulturalisme ini. Entah multikultural di bidang agama, budaya, cara
pandang, sejarah, dan politik. Selain itu, pendidikan multikulturalisme yang
dibangun tidak boleh melupakan aspek konflik, artinya konflik yang telah
berlangsung selama 30 tahun harus nenjadi titik tolak membangun kehidupan
multikultural. Ini dikarenakan konflik telah banyak meruntuhkan sendi-sendi
sosial kemasyarakatan.
Sumber :
http://atullaina.blogspot.com/2008/05/psikoterapi.html
http://id.wikipedia.org/wiki/Multikulturalisme