Senin, 01 April 2013

Person Centered Therapy (Carl Rogers)

Person Centered Therapy (PCT) juga dikenal sebagai person centered psychotherapy, person centered counseling, client centered therapy, dan Rogerian psychotherapy . PCT adalah bentuk pembicaraan psikoterapi yang dikembangkan oleh psikolog Carl Rogers pada 1940-an dan 1950-an.
Tujuan dari PCT adalah untuk memberikan klien kesempatan untuk mengembangkan rasa diri dimana mereka dapat menyadari bagaimana sikap, perasaan dan perilaku mereka sedang dipengaruhi secara negatif dan berusaha untuk menemukan potensi diri positif mereka dengan benar.
Dalam teknik ini, terapis menciptakan lingkungan yang nyaman dan tidak menghakimi dengan menunjukkan congruence (keaslian), empati dan hal positif tanpa syarat terhadap klien mereka saat menggunakan pendekatan non-direktif.

Rogers menyatakan bahwa ada enam kondisi yang diperlukan dan cukup diperlukan untuk perubahan terapi:
  1. Kontak psikologis terapis-klien: hubungan antara klien dan terapis harus ada, dan itu harus menjadi hubungan di mana persepsi setiap orang yang lain adalah penting.
  2. Client in-congruence atau kerapuhan: terdapat kecocokan antara pengalaman dan kesadaran klien. Selain itu, kerentanan dan kecemasan klien-lah yang memotivasi klien untuk tetap dalam hubungan tersebut.
  3. Therapist Congruence atau keaslian: terapis adalah sama dan sebangun dalam hubungan terapeutik. Terapis secara mendalam terlibat dengan dirinya sendiri, mereka tidak "berakting" dan mereka dapat memanfaatkan pengalaman mereka sendiri (self-disclosure) untuk memfasilitasi hubungan.
  4. Therapist Unconditional Positive Regard (UPR): terapis menerima klien tanpa syarat, tanpa penilaian, penolakan atau persetujuan. Ini memfasilitasi peningkatan harga diri di klien, karena mereka dapat mulai menyadari pengalaman di mana pandangan mereka tentang diri terdistorsi oleh orang lain.
  5. Therapist Empathic understanding: pengalaman terapis memahami secara empatik.
  6. Persepsi Klien: klien setidaknya dapat mempersepsikan terapis UPR dan pemahaman empatik.

 Prinsip-Prinsip Konseling 
Konseling berpusat pada individu (person) dilaksanakan berdasarkan prinsip-prinsip sebagai berikut :
  1. Konseling berpusat pada individu difokuskan pada tanggung jawab dan kesanggupan klien untuk menemukan cara-cara menghadapi kenyataan secara lebih sempurna. 
  2. Menekankan pada dunia fenomenal klien, dengan jalan memberi empati dan perhatian terutama pada persepsi klien dan persepsinya terhadap dunia.
  3. Konseling ini dapat diterapkan pada individu yang dalam kategori normal maupun yang mengalami derajat penyimpangan psikologis yang lebih berat.
  4. Konseling merupakan salah satu contoh hubungan pribadi yang konstruktif.
  5.  Konselor perlu menunjukkan sikap-sikap tertentu untuk menciptakan hubungan terapeutik yang efektif kepada klien. 
Tujuan Konseling
Bagi Rogers, tujuan konseling pada dasarnya sama dengan tujuan kehidupan ini yang biasa disebut dengan fully functioning person, yaitu pribadi yang berfungsi sepenuhnya. Menurut Rogers, fully functioning person memiliki kesamaan dengan self actualization meskipun memiliki sedikit perbedaan. Fully function person merupakan hasil dari proses dan karena itu lebih bersifat becoming, sedangkan aktualisasi diri sebagaimana yang dikemukakan Maslow lebih merupakan keadaan akhir dari kematangan mental dan emosional karena itu lebih merupakan self-being.

Secara singkat tujuan konseling ini mencakup : terbuka terhadap pengalamannya, adanya kepercayaan terhadap organismenya sendiri, kehidupan eksistensial yaitu sepenuhnya dalam setiap momen kehidupan, perasaan bebas, dan kreatif.

Tahapan Konseling
Tahapan konseling, jika dilihat dari apa yang dilakukan konselor dapat dibuat dalam dua tahap, yaitu:
  1. Tahap pembangunan hubungan terapeutik, menciptakan kondisi fasilitatif, dan hubungan yang subtantif seperti empati, kejujuran, ketulusan, penghargaan dan positif tanpa syarat. 
  2. Tahap kelanjutan yang disesuaikan dengan efektivitas hubungan pada tahap kedua yang disesuaikan dengan kebutuhan klien.
Sedangkan jika dilihat dari segi pengalaman klien dalam proses hubungan konseling dapat dijabarkan bahwa proses konseling dapat dibagi menjadi empat tahap, yaitu
  1. Klien datang ke konselor dalam kondisi tidak kongruensi, mengalami kecemasan, atau kondisi penyesuaian diri yang tidak baik.
  2. Saat klien menjumpai konselor dengan penuh harapan dapat memperoleh bantuan, jawaban atas permasalahan yang sedang dialami dan menemukan jalan atas permasalahnnya. Perasaan yang dialami klien adalah ketidakmampuan mengatasi kesulitan hidupnya.
  3. Pada awal proses konseling, klien menunjukkan perilaku, sikap, dan perasaannya yang kaku. Dia menyatakan permasalahan yang dialami kepada konselor secara permukaan dan belum menyatakan pribadi yang dalam. Pada awal-awal ini, klien akan cenderung mengeksternalisasi perasaan dan masalahnya dan mungkin bersifat defensif.
  4. Konselor menciptakan kondisi yang kondusif dengan sikap empati dan penghargaan, konselor terus membantu klien untuk mengeksplorasi dirinya secara lebih terbuka. Jika hal ini berhasil maka klien mulai menunjukkan sikapnya yang menyatakan diri yang sesungguhnya. Pada tahap ini, klien mulai menghilangkan sikap dan perilaku yang kaku, membuka diri terhadap pengalamannya, dan belajar untuk bersikap lebih matang dan lebih teraktualisasi, dengan jalan menghilangkan pengalaman yang didistorsinya.  
sumber:
en.wikipedia.org/wiki/Person-centered_therapy
 https://docs.google.com/viewer?a=v&q=cache:u2oKQKIDwigJ:kk.mercubuana.ac.id/files/61039-7-694099889667.doc+psikoterapi+menurut+pandangan+rogers+person+center+therapy&hl=en&pid=bl&srcid=ADGEESjkLWUSRJEbTJVGgdXxKaCMSiweK4lBCbrb_uuQZ_0R8jwChG_OD7Ejw48ZD6vi7oPrq-neZ6OoDyFqL2DCi304Y8oCcJIscBoCPlBJ2yqxUVeEPhtAeoAFPq220n8F2S8hiq9O&sig=AHIEtbQQfCo1XZx650BGmuj90gXikqDLJg

Tidak ada komentar:

Posting Komentar